ANI Worker Union


Saat ditanya, Mau kemana mas?
"iya menjawab Lembur Mas...!
"Sekarang kan 62 tahun Indonesia merdeka....kok lembur?"
"..tul mas....tapi saya belum merdeka, karena harus mencari uang untuk mencukupi hidup sehari-hari, jadi kuli di perusahaan bangsa Jepang mas......., tu..kan masih dijajah.......
Sudah 62 tahun Indonesia merdeka. Sejak diproklamirkan 17 Agustus 1945 silam oleh Soekarno-Hatta sebagai pernyataan de facto berdirinya negara Indonesia. Jika disetarakan dengan usia manusia, Indonesia cukup tua usianya. Namun kemerdekaan bangsa Indonesia mestilah tetap terjaga, karena keterlepasan dari penjajahan bangsa Indonesia harus menanti 350 tahun.

Kemerdekaan di perjuangkan dan dipertahankan oleh rakyat dengan cucuran keringat serta tetesan darah. Karena kesakralan pengabdian seseorang kepada negaranya adalah nomor dua setelah ketaatan pada keyakinan agama. Sewaktu timnas sepakbola berjuang di pertandingan Piala Asia begitu besar pancar perjuangan para pemain tim merah putih untuk memenangkan pertandingan. Pertandingan tersebut dapat kita jadikan referensi pengorbanan pungawa-punggawa negeri dalam mengusir penjajah Dasar perbuatan mereka tiada lain tiada bukan landasnnya yakni demi tegaknya keadilan yang berlandaskan kehormatan.

Lamanya penantian melepaskan diri dari kungkungan kolonialisme penjajah tentu ada harapan besar yang di impikan oleh rakyat Indonesia. Melepaskan diri dari dikte bangsa penjajah adalah pokok utamanya. Mencapai kemakmuran menjadi harapan seluruh rakyat. Sebab di era penjajahan bangsa Indonesia kehidupannya selalu terlilit masalah kebodohan dan kemiskinan. Hal demikian memang telah di skenariokan agar rakyat Indonesia selalu terbelakang dalam kancah peradaban manusia.

Dari tahun 1945 sampai 2007 Indonesia telah mengoleksi 6 orang Presiden. Mulai dari Soekarno sebagai pemimpin Republik pertama hingga Susilo Bambang Yudoyono sekarang. Banyak perubahan telah terjadi. Baik masalah ketatanegaraan, pembangunan sampai masalah-masalah sosial lainnya.

Rakyat semakin hari selalu di hadapkan dengan masalah yang tidak menguntungkan. Perannya dalam negara makin terasa tidak jelas karena selalu kalah oleh lindasan kekuasaan rezim. Karena alasan perut, banyak pemuda dan pemudi menjual jasa tenaganya di negeri jiran meskipun imbalannya amat murah. Mereka rela melakukan semua itu karena di negerinya yang subur makmur tidak mampu memberikan suapan-suapan nasi. Betapa meraung hati para pejuang kemerdekaan jika mengetahui nasib anak cucunya menjadi kuli kasar di negeri orang. Sehingga ikon sebagai bangsa kuli sulit di tepis lagi.

Belum lagi masalah penggusuran yang tidak tertuntas-tuntaskan. Bagi pedagang kaki lima penggusuran menjadi momok menyeramkan. Layaknya seperti main petak umpet dengan Satpol PP agar dagangan mereka tidak terporak-porandakan. Karena alasan keindahan kota masyarakat kecil di tinadas sekonyong-konyong tanpa kompromi, tanpa melihat kesusahan rakyatnya agar mampu bertahan hidup.

Di mana letak kemerdekaan? Apakah sewaktu upacara detik-detik proklamasinya saja? Padahal Bung Karno pernah menyatakan kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran. Pasca reformasi 1998 prediksinya adalah adanya perubahan signifikan baik itu dalam hal birokrasi maupun mengenai persoalan hidup halayak umum.

Dan konskuensinya pihak luar dapat menginjak-nginjak kedaulatan bangsa. Kalau Bung Hatta pernah menyemboyankan menjadi Tuan rumah di negeri sendiri, sekarang Indonesia dapat di injak-injak dengan semena-menanya. Mulai dari pemindahan patok batas negara oleh Malaysia hingga pelarangan terbang pesawat nasional ke manca negara.

Fenomena demikian terjadi akibat pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat. Amanah di berikan namun kepercayaan tetap di sia-siakan. Paham feodalistik masih mementali pemimpin negeri ini. Sungkan menerima kritik, karena selalu mengharapkan pujian. Di depan masyarakat menebar janji untuk memberikan hak rakyat yang teramanatkan oleh Undang-undang. Ketika luput dari pantauan pelupuk mata rakyat kecil prinsip-prinsip koncoismelah mendasari tingkah tanduk mereka. Budaya hiporkit masih membelenggu mental-mental anak bangsa.

Pembangunan tidak diorientasikan kepada peningkatan taraf pendidikan, tapi lebih kepada pembangunan ekonomi yang berorientasikan kepada perut, tidak ada nilai esensinya sebab perut hanya menghasilkan kotoran. Sehingga morat marit keadaan sulit di cari penyelesaiannya.

Korupsi semakin merajalela. Hukum tidak berdaya menyeret para koruptor ke pentas pengadilan. Akibat keadilan amat mahal harganya. Sehingga tidak mengherankan jika banyak koruptor tetap berkeliaran tanpa rasa bersalah apalagi malu dengan kelakuan mereka yang sangat menjijikkan tersebut. Tidak salah jika Bambang Widjayanto menyatakan sekarang era zamannya megakorupsi. Karena suburnya korupsi. Kalau tak tertuntaskan maka otomatis wajah bangsa Indonesia terus akan di limuti kemuraman.

Di Korea Selatan korupsi menjadi musuh utama. Sosok Chu Doo - Kwan, Presiden Korea Selatan priode 1981-1988 tanpa ampun tetap di seret ke pengadilan dengan tuduhan menerima suap. . Seluruh keberhasilan kepemimpinannya sama sekali tidak di singgung. Justru yang di dapatkan adalah cercaan perbuatan buruknya. Tujuan filosofis dari pengalaman salah satu negara kawasan Asia Timur ini adalah tegaknya supremasi hukum. Meskipun vonis pidana hukuman mati tidak di laksanakan karena ia mendapat amnesti dari negara tetapi menimbulkan efek luar biasa dahsyat. Para pejabat menjadi takut untuk berprilaku korup karena hukum setiap saat dapat merongrong perbuatan mereka. Bila bandingannya Indonesia tentu amat jauh levelnya.

Apalagi sekarang era pemilihan kepala daerah secara langsung, praktik-praktik suap menyuap tumbuh subur dari Sabang sampai Merauke. Bukan rahasia umum kalau pasangan calon harus menyetor setumpuk miliar agar dapat dicalonkan sebagai pasangan calon oleh partai pengusung atau istilah trennya sewa perahu.

Rakyat terkibul praktik masuk kampung keluar kampung. Masa kampanye belum di mulai tapi rapat-rapat akbar terjadi di mana-mana. Alasan kunjungan kerja kepala Daerahlah, sambil memberikan bantuan dan masyarakat menyambut sambil teriak dukungan. Kalau dicermati atau di ungkit-ungkit permasalahannya akibat gagalnya dunia pendidikan.

Memang kampnaye pengentasan buta aksara gencar sekali namun makna pengentasan buta aksara apakah sekedar tahu mengeja abjad, menuliskan abjad dan menghitung angka-angka. Pengentasan buta akasara yang di cita-citakan Bung Karno dan Bung Hatta adalah rakyat mampu membaca tipu daya; sekalipun oleh penguasanya sendiri, mencatat janji-janji penipuan biar ada bukti otentik. Dan pandai menghitung agar memiliki kemampuan dalam menganalisis, memeperincikan kemurnian topik.

Jadi pendidikan rakyat tidak serta merta didefinisikan lancar mengeja kata-kata. Kalau pendidikan telah benar tentu masyarakat akan mampu berfikir kritis mengapa orang banyak memberi bantuan dari kampung ke kampung. Uang di alirkan pasti ada tujuan meski masyarakat tidak di tagih membayar. Tapi ada hal yang mesti di waspadai. Nasib rakyat jangan sampai tergadai. Sebab dalam ilmu berhitung ada plus minus; jika bicara masalah ekonomi/ uang; pasti berbicara untung rugi.

Imbasnya adalah depolitisasi terus mewarnai seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara apabila kemerdekaan rakyat untuk keluar dari ranah kemiskinan dan kebodohan tidak diberikan oleh penguasa. Sebab penguasa akan selalu melanglangbuana bebas untuk menskenarionakan masyarakat untuk selalu menjadi Pak Turut walau kebijakannya tidak memihak rakyat bahkan penuh kebobrokan

copy from: http://fspmipemi.multiply.com/journal/item/29

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama